Thursday, March 29, 2012

The Whisper

Aku yang sebelumnya sudah bisa tidur di malam hari, kini kembali ke kebiasaanku yang dulu. Tidak Tidur. Bukan tidak tidur sama sekali maksudku. Tapi kalau dibandingkan dengan yang seharusnya delapan jam, anggap aku hanya bisa dua jam saja memejamkan mata.

Kenapa? Entah.

Kalau kau luang, tolong temukan penyebabnya untukku. Dan kalau boleh aku sekali ini saja berlagak tak tau diri, sekaligus saja tolong carikan penyembuhnya untukku. Aku lelah, sungguh.

Kau tau suara lebah?

Jangan. Jangan hanya membayangkan suara satu ekor lebah saja. Bayangkan kalau ada ratusan bahkan ribuan. Sudah terbayang? pasti bising. Nah, itu yang terjadi di kepalaku saat aku seharusnya menikmati malam untuk sekedar melepas penat, berbaring diatas tempat tidurku.

Kenapa bisa? Entah.

Sebenarnya hati manusia itu jumlahnya ada berapa?. Iya, aku akui itu pertanyaan konyol. Kadang suara yang kugambarkan seperti suara lebah tadi, adalah suara hati.

Kau tau kan,

Mereka selalu bilang, ikuti saja bisikan hatimu yang terdalam. Ini yang menggangguku. Sebenarnya hati manusia itu ada berapa. Apa jangan-jangan, hatiku adalah sebuah pengecualian. Mengapa hatiku membisikkan bisikan-bisikan yang berbeda satu sama lain di waktu yang sama.

Kalau begini, bisikan mana yang harus kudengar?.

Monday, March 26, 2012

Then,





and then i meet you



*Menghela Nafas

Tidak adil,

Aku memang belum tiba disana.

Tiba di kata 'Bahagia', yang seperti selama ini selalu aku sisipkan di tengah-tengah pembicaraan kita yang tidak pernah berujung. Tapi paling tidak, kaki kiriku ini sudah perlahan-lahan mau melangkah maju, mensejajari langkah kaki kananku.

Dan kamu,

Kamu dengan segala bentuk keegoisanmu, tiba-tiba saja muncul dengan santai melenggang masuk datang kembali. Tidak ada sapa, tidak juga ada basa nan basi. Kamu datang, seolah-olah sudah berdiri begitu saja dihadapanku tanpa memperdulikan sedang apa dan sedang bersama siapa aku saat itu.

"Aku menyesal...", ujarmu.

Seharusnya kamu tau. Mendengar itu dadaku seketika terasa begitu sesaknya, aku bahkan sampai lupa bagaimana caranya menghirup udara. Lucu. Aku, yang biasanya begitu mudah menyusun kata menjadi kalimat, tetiba saja diam membisu, membeku.

Disaat aku limbung karena kedatangan dan ucapanmu, kamu perlahan berbalik...

Hey! tunggu dulu. Ingin rasanya kutarik sebelah tanganmu, membalikkan badanmu kembali menghadapku. Ada apa ini, aku sungguh tak mengerti.

Kamu bilang, aku cukup hanya perlu tau apa yang sebenarnya kamu rasakan. Kamu bilang, semua tidak perlu lagi dibahas panjang-panjang. Kamu bilang...kamu bilang...kamu bilang...kamu bilang...aaargh! otakku ini rasanya tak mampu mencerna jalan pikiranmu.

Kau tau, mudah sebenarnya...

Cukup bawakan aku setangkai mawar putih, ketuk pelan pintu rumahku, genggam tanganku. Tapi naaah, muluk rasanya membayangkan kamu akan benar- benar melakukannya.

Tidak adil,

Kalau begini, seharusnya dari awal saja kamu tidak perlu datang.

Sunday, March 25, 2012

The Ghost

Di malam hari, dipertengahan tidur lelapku.

Bagaimana bisa aku tidak terbangun. Kebiasaanmu yang sering kali muncul dengan tiba-tiba ini, perlahan semakin menggangguku. Kucoba untuk tidak memperdulikan kedatanganmu, tetap berpura-pura tertidur memejamkan kedua mataku. Kutarik lebih rapat selimut biruku, menutupi sekujur tubuhku. Ah tidak, tidak sekujur tubuhku. Kusisakan sedikit celah terbuka untuk kedua lubang hidungku agar masih tetap bisa menghirup udara.

Aku diam, dibalik selimutku. Berharap kamu mengerti bahwa malam kali ini aku terlalu lelah untuk menyambut kedatanganmu.

Tapi aku rasa, kamu tidak mau mengerti.

Kamu tetap tinggal, tidak sedikitpun beranjak pergi. Segala cara kamu lakukan, agar aku terbangun dari tidur pura-puraku. Kau tarik selimutku, kau nyalakan lampu kamar lalu mencubit pipiku pelan.

"Ayo kita berbagi cerita...",

Itu jawabmu, setiap kali kutanyakan untuk apa kau bangunkan aku di setiap malam waktu tidurku. Berbagi cerita. Ingin rasanya tertawa terbahak-bahak setiap kali kamu katakan itu. Seharusnya kamu mengerti, masa untuk kita saling berbagi cerita sudah lama berlalu.

Aku mau tidur. Kau dengar? aku mau tidur.

#feelitnotjustreadit

Sunday, March 18, 2012

For You

For you,

that might still open up this page and that might still wait for a new post...

here, let me tell you my deepest secret that nobody yet knows.

i dont know what to write anymore,

i used to write sad love stories for i was having my heart broken at that time, but no more, time passed by and here i am now doing just fine...

i used to write sweet love stories also for i was once accidentaly in love with an unpredictable person, but then i found out that its just a crush...

i used to write silly love stories because i yes, i admit it met a few persons that officialy just not only open my eyes but also my heart, realized that we all do too deserve our happines and we all do too loveable, including me...

so,
thank you...
thank you...
thank you..
for all those people that once or twice even more that became my inspiration,

and you...yeah i mean you! the one thats might reading this, who knows...u might also were my inspiration, so i truly am thank you too.

kiss, Dieta

Friday, March 16, 2012

Wednesday, March 14, 2012

S. mile

how it looks on the outside...

what it feels in the inside...

I Miss The Buzz!!!

Sudah hampir tujuh kali dua puluh empat jam lamanya aku tidak lagi mendengar suaramu, tidak lagi membaca pesan singkat darimu, tidak lagi saling berbalas ejekan denganmu. Setiap hitungan detik kelima, tidak pernah tidak kuraih ponsel pintarku. Berharap ada namamu muncul di layar, yang hingga kini belum lagi ada.

Kamu, dimana?.

Aku sudah tidak lagi menyetir sambil memainkan ponsel pintarku, sudah tidak lagi malas mencari info yang kubutuhkan di internet, sudah tidak lagi menyebut namanya di setiap tulisanku dan sudah tidak lagi membuka jendela mobilku saat berhenti di lampu merah.

Kau lihat, kamu yang singgah tidak hanya sekedar sekedip mata itu benar-benar merubahku.

I miss the BUZZ!!!

I miss the shouts,

I miss us.

Ada sesuatu yang salah. Entah kamu, entah aku, entah mereka atau mungkin keadaan. Silahkan tuduh aku sedang bersikap terlalu berlebihan, tapi jangan sekali-sekali meremehkan insting perempuan yang sering kali benar.

Kau tau, mungkin aku yang salah cara dalam menunjukkannya, atau kamu yang salah cara dalam menerimanya. Aku tak tau yang mana. Yang pasti, salah satu dari dua kemungkinan itu dengan seketika membawamu pergi terlampau jauh dariku. Dari ikatan kita.

Sebuah ikatan yang dinamakan persahabatan.

~I dedicated this one for my bestie, where are you buddy? i miss us~

*Senyum Simpul

'Just try one, pretend that you are a supermodel, so the earing will look good on you too'

Itu hiburmu.

Aku baru saja mengoceh. Tentang kenapa barang-barang yang ada di katalog produk selalu terlihat pantas dipakai model-modelnya. Kamu tertawa terbahak-bahak, ocehan khas perempuan katamu, lalu kamu hibur aku dengan kata-katamu tadi.

Hhh...entah bagaimana aku tanpamu.

Tuhan tau. Aku tidak membutuhkan sosok setampan selebritis papan atas, atau paling tidak, yang menurut mata orang lain tampannya ampun-ampunan. Aku tidak butuh seseorang dengan dompet super tebal, juga mungkin datang dari keluarga terpandang nan bergelimangan harta warisan turun temurun. Sungguh, Tuhan tau.

Aku butuh kamu, apapun statusmu disisiku saat ini.

Kamu.

Yang Tuhan kasih untuk menemaniku, melewati lika-liku drama cerita hidupku yang menurutmu hilarious. Yang Tuhan kasih untuk menjagaku, agar tidak terlalu jauh merealisasikan hal-hal konyol spontan yang muncul di kepalaku. Yang Tuhan kasih untuk mengingatkanku, kalau selalu ada kelebihan dibalik semua kekuranganku.

I thank God to have you in my life...

*senyum simpul

Tuesday, March 13, 2012

Ah Payah

"Sabar ya...", tuturku.

"Jangan khawatir, aku ini orang yang tingkat kesabarannya diatas rata-rata", balasmu.

Ya, aku sempat hampir mempercayaimu. Sempat hampir berpikir, akhirnya kutemukan juga yang setidaknya mau bersabar menunggu, hingga nanti pintu hati ini kubuka. Sempat hampir memutuskan, untuk memulai sesuatu yang sebelumnya sama sekali tidak terpikirkan untuk kumulai. Demi mereka.

Untungnya hanya baru hampir, belum sudah. Kalau sudah, mungkin hati ini akan lagi-lagi pecah berkeping-keping.

Payah...

Bukankah seharusnya seorang laki-laki rela naik ke puncak gunung tertinggi, juga menyelam ke lautan terdalam dan melawan monster terbuas demi perempuan yang katanya dia cintai???.

Apa kamu pernah dengar, atau setidaknya tau walau hanya sekelibat...

Tentang bagaimana Hercules si manusia setengah dewa, rela menolak tawaran Zeus untuk hidup abadi menjadi seorang dewa seutuhnya di bukit Olympus hanya demi Meg. Juga tentang Kang Kabayan dengan laku pola khasnya, tidak pernah menyerah mencoba meluluhkan hati Abah demi mendapatkan Nyi Iteung. Atau tentang Sangkuriang, yang rela melakukan segala cara untuk membangun seribu candi sebagai pembuktian cintanya kepada Dayang Sumbi.

Aku?

Aku tidak memintamu membangun seribu candi. Tidak juga berharap kamu mau melawan naga bernafaskan api atau sekedar bersusah payah mendaki gunung, demi memetikkan edelweiss untukku.

Aku hanya memintamu bersabar. Itu saja.

Friday, March 09, 2012

A Fender Telecaster, A Cup Of Coffee Yet No Cigarettes

"Kita itu, seharusnya aku dan kamu kan? kalau hanya ada aku tanpa kamu, apa masih bisa disebut kita..."

Lucu, mungkin lebih tepatnya, aneh.

Garasi rumah yang kuubah fungsinya menjadi studio musik ini, harusnya selalu menjadi tempat yang menyenangkan di setiap sore. Tapi rasanya tidak di sore-sore belakangan ini, tetiba saja terasa begitu membosankan, seperti kali ini. Gitar; bass; drum dan keyboard yang teronggok terawat di tempatnya masing-masing pun, tidak lagi terlihat semenarik biasanya.

Kuhela nafasku panjang, ada apa ini, pasti ada sesuatu yang salah. Tidak mungkin kan, hasrat dan impianku dalam bermusik bisa tiba-tiba menghilang begitu saja.

"I need a coffee break", bisikku.

Sebelum keluar dari ruangan, kusempatkan meraih ponsel pintarku yang kutaruh diatas amplifier. Hmm belum ada satupun pesan singkat darimu seharian ini, kulirik jam di dinding, jarumnya sudah menunjuk angka lima. Aku tersenyum, miris.

Kubawa yellow vintage fender telecaster milikku, juga secangkir kopi panas yang baru saja kubuat, menuju kursi kayu di halaman belakang rumah. Ke tempat favoritku yang kedua. Kusandarkan punggungku di sandaran kursi, yep! gitar; kopi dan sebungkus rokok seharusnya sudah cukup untuk mendatangkan inspirasi.

Tiba-tiba aku sadar, kopi dan gitar memang sudah ada. Tapi rokoknya, tidak.

Aku diam. Seketika saja, pikiranku melayang kepada aku dan kamu. Kepada kita maksudku, itupun juga kalau saja memang ada 'Kita'.

Kau tau,

Kopi. Umpamakan kalau proses membuat kopi itu, adalah perjalanan hubungan kita selama ini. Yang selama ini membuat kopinya? hanya aku. Aku yang membeli kopinya; menyiapkan gulanya; memanaskan airnya lalu menyeduh dan mengaduknya.

Gitar. Gitar itu aku, hatiku lebih tepatnya. Sebisa mungkin nada yang kualunkan untukmu adalah nada yang indah dan tulus.

Kamu?. Anggap saja rokok itu adalah kamu dan hatimu, yang seharusnya juga ada disana, tapi tidak. Entah belum ada atau memang mungkin tidak akan pernah ada.

Gitar; kopi dan rokok adalah satu kesatuan, tidak ada salah satunya, tidak akan ada juga inspirasi. Tanpa inspirasi, bagaimana bisa tercipta sebuah lagu. Seperti kita, kalau hanya ada aku tanpa kamu, apalah artinya. Seperti kita, tanpa ada hatimu, hatiku apa gunanya.

Maka kutanyakan padamu sekali lagi,

"Kalau hanya ada aku tanpa kamu, apa masih bisa disebut kita..."

~I dedicated this one for my bestie, RP: this one for you, buddy...hope you'll like it. chin up!~ 

Thursday, March 08, 2012

"Siapa Ya?"

Seperti di sore-sore hari sebelumnya, rinai turun.

Kulirik jam dinding yang digantung tak jauh dari kubikelku, sudah waktunya untuk tidak lagi berkutat di depan komputer. Hari ini tidak langsung pulang seperti biasanya, ada satu tempat yang harus kukunjungi.

Mampir sebentar di toko roti, kusempatkan diri untuk membeli roti tuna favoritnya. Secepatnya kulajukan si hijau yang sudah hampir lima tahun ini setia menemani kemanapun aku pergi, ke tempat itu, aku tak mau dia disana terlalu lama menungguku.

"Kamu masih dimana, Dayu?", pesan singkat dari ibu untuk kesekian kalinya.

Mungkin ibu lupa kalau kondisi lalu lintas Bandung sekarang, sudah hampir menyamai atau bahkan suatu saat nanti akan bisa menyaingi Jakarta. Dan kalau saja kemarin aku tidak seceroboh itu menduduki kacamataku, pasti menyetir disaat hujan deras seperti ini akan jauh lebih mudah, aku bisa tiba di tempat itu lebih cepat, dan ibu tidak perlu mengirim pesan singkat yang sama berulang-ulang.

Hmm, aku suka aroma tempat ini sama seperti aku menyukai aroma toko buku, tapi jangan tanya, sudah pasti toko buku lebih jauh menyenangkan daripada tempat ini. Akhirnya setelah sempat beberapa kali masuk ke ruangan yang salah, kutemukan juga ruangannya.

"Lama amat, kemana dulu?", tanya ibu di ambang pintu.

Aku hanya tersenyum lebar sambil menunjukkan bingkisan berisi roti tuna, lalu memasuki ruangan itu.

Dia disana...

Terbaring di tempat tidur dengan seprai putih dan selimut garis-garis biru putih, sedang menonton acara fauna yang ditayangkan oleh salah satu dari sekian banyak saluran TV yang ada di TV kabel. Kuhampiri dia pelan-pelan, lalu duduk di kursi tepat disamping ranjangnya, kusentuh tangan kanannya, kutunjukkan padanya roti tuna yang sengaja kubelikan khusus untuknya.

Dia hanya diam, memandang wajahku untuk beberapa saat lalu menoleh ke arah ibu, kemudian kembali lagi menoleh kearahku.

"Ini Siapa?", tanyanya pelan.

"Ini Dayu Kek, cucu Kakek...", jawabku lirih sambil menahan tangis.

Wednesday, March 07, 2012

Berisik

Seperti ada begitu banyak mulut yang sedang berbicara pada saat bersamaan, tepat di kedua telinga.

Kira-kira seperti itu berisiknya...

Ada yang berbicara sambil berbisik dan ada yang sambil berteriak, ada yang berbicara dengan diiringi tawa tapi ada juga yang dengan diiringi tangisan, ada yang berbicara dengan sangat cepat juga ada yang dengan terbata-bata.

Semuanya sedang berbicara kepadaku, tapi tidak ada satupun yang bisa aku mengerti.

Yang kutau pasti hanya satu. Mereka semua berbicara atas dasar rasa sayang, yang sungguh tanpa perlu mereka ucapkan pun aku sudah tau, mereka rasakan dan tujukan kepadaku.

Hmm...

Bicaralah satu persatu denganku....bisa tidak?.

Will You Stay?

Sini...

Cobalah kemari, duduk sebentar saja disampingku. Bersama-sama menanti jingga sore di beranda rumah, sambil menikmati teh hangat tidak terlalu manis favoritku, yang tidak kusangka ternyata juga kesukaanmu.

Mari kita bicarakan semuanya.

Tentang aku, juga tentang kita yang belum tapi mungkin nanti akan ada. Hey jangan dulu menggerutu, juga mengangkat kedua alismu tinggi-tinggi, apalagi menatapku tajam, hanya karena aku tidak menyebut tentang kamu.

Karena tentang kamu, sudahlah, aku percaya kalau pilihan ibuku tidak mungkin salah.

Ada yang harus kukatakan.

Buka kedua telingamu lebar-lebar, dengarkan baik-baik semua yang akan kamu dengar. Jangan dulu menilai apalagi mengambil keputusan, sampai akhirnya nanti aku memberimu satu pertanyaan.

Aku suka memperhatikan mimik wajah orang, siapapun mereka dan tanpa sadar menirunya. Aku sama sekali tidak tau bagaimana caranya menggunakan alat-alat make-up, kecuali lipstik dan bedak.

Aku ini ceroboh, apa yang kusentuh entah bagaimana selalu saja bisa terjatuh. Aku tidak mengerti banyak tentang teknologi, tapi paling tidak aku tidak pernah berpura-pura mengerti.

Aku masih suka berkumpul bersama sahabat-sahabat lelakiku, karena hanya dengan mereka aku tetap bisa menjadi aku apa adanya. Jangan terkejut dengan emosiku yang selalu berubah-ubah, aku sendiripun masih sedikit sulit mengatasinya.

There i said it, almost all how a mess i can be and yet more to come. "Will you stay still?".

Tuesday, March 06, 2012

Tak Perlu Susah Payah

Kalau nanti ada kesempatan. Ketika ibu sedang tidak di rumah, akan kucubit kedua pipi Lintang sekeras mungkin. Biar saja, biar kedua pipinya yang memang sudah lebar itu menjadi semakin lebar.

"Hhh...yang kamu kasih ke saya ini, mahluk planet mana?", tanyaku gemas pada Lintang.

Aku tau, maksud Lintang sebenarnya baik. Mengenalkan aku dengan seseorang, yang dia pikir mungkin akan cocok untukku. Tapi aku rasa, serangan semangatnya yang terlalu menggebu untuk menjodohkanku itu, membuat dia mendadak terkena lupa ingatan.

Dari awal Lintang sudah kuwanti-wanti. Aku tidak suka laki-laki yang mencoba terlihat manis dengan melakukan hal-hal yang menurutnya romantis. Tapi apa yang terjadi? sudah bisa tertebak.

Lelaki ini...

Aku diserang entah sudah berapa puluhan, untung belum ratusan gambar hati berwarna merah darah yang berpendar" di setiap akhir pesan singkatnya untukku. Dia memanggilku Manis di setiap percakapan kami, padahal dari awal bertemu sudah kubilang kalau namaku, Dayu. Mengirimku sekotak coklat dan rangkaian bunga mawar putih di tanggal empat belas Februari. Dan ya, aku suka musik dengan lirik yang menarik, tapi tidak berarti dia harus selalu mengirimku kutipan lirik lagu di setiap malam menjelang tidurku.

Andai saja dia tau,

Aku lebih suka gambar kartun yang sedang tertawa lebar memperlihatkan giginya dibandingkan gambar hati merah berkilauan. Aku lebih suka dipanggil Dayu oleh siapapun yang baru saja kukenal, atau Day oleh mereka yang memang sudah mengenalku lama. Aku tidak merayakan bahkan sama sekali tidak mengerti apa makna tanggal empat belas Februari. Dan ucapan selamat tidur menjelang tidur tanpa embel-embel basa nan basi, sudah lebih dari cukup untukku.

Andai saja dia tau,

Untuk mendapatkan perhatianku, dia tidak perlu susah payah berusaha menjadi laki-laki yang mungkin merupakan tipe lelaki impian perempuan sejagat raya.

Karena lelaki impianku, bukan yang seperti itu.

Monday, March 05, 2012

Tanpa Pernah Lagi

Kulipat rapih kemeja; kaus oblong; kaus berkerah; jeans; celana panjang dan kaus kaki milikmu, kusiapkan juga peralatan mandimu dan beberapa obat-obatan yang mungkin saja kamu perlukan nanti disana. Tidak semuanya, sebagian yang menurutku sudah tidak layak dipakai biar ditinggal saja.

Kuatur sedemikian rupa, agar bisa muat di dalam travel bag hitammu.

Kulirik kamu yang sedang memunggungiku, sibuk memilah berkas-berkas penting yang juga akan kamu bawa pergi. Kutatap kamu lama, kuhela panjang nafasku, aku rasa kamu mendengarnya karena kamu tiba-tiba menoleh.

"Kenapa?", Tanyamu pelan, aku hanya menggelengkan kepalaku. Kamu, diam.

Aku diam-diam tersenyum tipis. Aku selalu tau dari dulu, kalau saat ini di entah kapan pada akhirnya pasti akan tiba. Saat dimana kamu akan pergi. Meninggalkanku.

Ternyata, hari ini.

Jingga sore berlalu, hanya sampai di stasiun kereta api saja kamu izinkan aku mengantarmu. Hiruk pikuk stasiun di Minggu malam membuatku bahkan tak mampu merangkai kata-kata perpisahan. Aku hanya mampu menatapmu lekat-lekat dalam diam.

"Aku pergi dulu", bisikmu pelan.

Iya, kamu pergi seperti biasanya, seperti yang sudah-sudah.

"Aku pasti pulang", bisikmu lagi.

Sebuah kecupan ringan mendarat di keningku, aku mengangguk sambil diam-diam tersenyum penuh arti. Kutatap kamu, mencoba menyimpan sosokmu; senyummu dan matamu baik-baik di dalam ruang ingatan. Kupeluk kamu erat-erat, seakan-akan aku sudah tau bahwa itu akan menjadi pelukan terakhirku untukmu..

Dan kamu pergi...tanpa pernah lagi sekalipun kembali, untukku. Untuk kita.

Saturday, March 03, 2012

030312

Happy Wedding beloved besties Desy & Aip,


the cutest pic ever

Okay,
you guys just officially made me the last one standing...


besties
Check us out,
aren't we all look so lovely? couldn't help for not taking pics

'anything could set u a smile! just like...your bestfriend's wed'

That's what i think, what about you?!? what do you think?!?

Thursday, March 01, 2012

I'll Be The One In White

Warna putih,



Ditambah sekilas seulas semburat ungu lembut bunga lavender.

Aku tidak pernah menginginkan ada berdiri di satu panggung utama yang besar, di dalam sebuah gedung pertemuan yang megah, serta di hias dengan setingan ruangan yang indah nan mewah, ditambah beratus bahkan beribu tamu yang mungkin tidak semuanya kukenal.

Tidak, tidak pernah.

Kalau boleh berangan-angan, cukup di kebun belakang rumah saja. Eh tunggu! rumahku tidak ada kebun belakangnya, tapi itu bisa diatur. Sekarang sudah banyak rumah makan bertema alam yang mungkin saja sebagian spot indahnya bisa kusewa. Masalah tempat dan hidangan, selesai.

Tempatnya sudah tidak perlu lagi dihias macam-macam, cukup ditambah pemanis dari kain berwarna putih dan lavender di beberapa titik.

Juga tidak perlu luas, asal bisa menampung aku; dia dan mereka. Mereka yang memang selama ini benar-benar ada di hidupku juga di hidupnya. Keluarga dan sahabat, itu saja sudah lebih dari cukup.

Mimpiku tentang hari itu.

Bukan karena aku ini terlampau pelit atau mencoba berhemat, juga bukan karena tak ingin berbagi kebahagian dengan banyak orang. Entahlah, aku cuma ingin hari itu terasa hangat dan sakral dikelilingi orang-orang yang kusayangi yang juga dengan tulus menyayangiku.

Itu saja, alasannya.

Di hari itu, Sabtu pagi menjelang siang, sesudah Ijab Qabul....

Aku ingin sahabat-sahabat lelakiku bermain alat musik, menyanyikan daftar lagu cukup panjang yang di jauh-jauh hari sebelumnya kupesan dengan sedikit rengekan dan paksaan. Aku mau bersenda gurau bersama sahabat-sahabat perempuanku, yang selama ini berbagi cerita hidup denganku. Aku mau berdansa dengan keponakan-keponakan tersayangku, mengikuti semua gerakan tarian mereka. Aku mau menyanyi bertiga, dengan ibu dan Lintang, diiringi alunan musik dari piano yang dimainkan bapak. Aku mau memeluk, bukan hanya menyalami satu persatu mereka yang datang.

Sederhana, bukan?. Oh! satu lagi :)

Dia, yang namanya dituliskan untukku dalam Lauhul Mahfudzh. Dia akan terlihat begitu pantas mengenakan kemeja putih dengan jas hitamnya, tersenyum bahagia berdiri disampingku.

Aku?

I'll be the one in white kebaya, yang berdiri disamping si lelaki berjas hitam sambil tak henti-hentinya tersenyum mensyukuri adanya dia dan mereka di hidupku.

Ada Apa Ini

Jangan diam,

Coba kamu pikirkan sebentar saja. Kalau kamu diam, bagaimana bisa aku mendengar. Dan bagaimana aku bisa tau, jika tidak mendengar. Bagaimana aku bisa mengerti, kalau aku tak tau. Lalu bagaimana bisa aku memperbaiki, bila aku sama sekali tidak mengerti.

Marah saja, tidak apa-apa. Asal tidak diam.

Kupanggil namamu, kamu menyahut pun tidak, apalagi menoleh. Perlahan kuhampiri, kamu malah menjauh, mempercepat langkahmu.

Ada apa ini.