Friday, September 21, 2012

Sisi #1

Kamu...

Iya, kamu. Dengan senyuman manis dan tawa renyahmu itu. Selalu ada untukku.

Bagaimana bisa?

Aku tidak pernah habis pikir. Terbuat dari apa hatimu itu, bisa sebegitu sabar dan kuatnya. Menerima semua kekuranganku. Memaafkan sekian banyak kesalahanku. Memaklumi keegoisan tingkat tinggiku. Juga memahami keinginan-keinginanku.

Sial!

Seharusnya kamu tau, ini semua bukan salahmu.

Bukan karena rambutmu seharusnya dibiarkan panjang tergerai, kalau perlu diwarnai semburat coklat kopi atau burgundy. Bukan karena kenapa kamu tidak pernah memoles wajah, juga kuku kaki dan tanganmu dengan warna-warna manis. Bukan karena seharusnya jeans-jeans panjang bladus, juga semua t-shirt dan topi merahmu itu kamu ganti dengan mini dress atau cardigan berwarna pastel. Bukan karena sudah seharusnya kamu tidak lagi menghabiskan waktu dengan bersepeda di pagi menjelang siang, atau berenang di siang menuju sore, dan bersepatu roda di sore hingga malam hari.

Bukan.

Bukan juga karena...ah sudahlah.

Bagaimana caranya membuatmu mengerti kalau semua ini karena aku. Salahku.

Aku hanya masih ingin menghabiskan waktu yang kumiliki untuk diriku sendiri. Masih ingin menjelajah tempat-tempat yang belum pernah kusinggahi. Masih mau mencoba hal-hal baru yang sama sekali belum pernah kucoba. Masih harus mencari tau apa yang sebenar-benarnya kumau dan kemana arah yang kutuju. Masih belum bisa melepaskan diri dari hingar bingar gelak tawa bersama dunia senang-senangku.

Aaargh!!!

Iya. Aku tau. Aku keterlaluan. Aku lebih dari sekedar bajingan.

"maaf...".

Tuesday, September 04, 2012

Balada Rambut

*ngaca

Ga kerasa, panjangnya udah sepinggang. Terakhir dipotong sebatas telinga itu kira-kira sembilan bulan yang lalu. Berarti bisa dibilang tumbuhnya si rambut ini cepet juga.

Hold that tought!

Saya ga pake sampo metal kok. Juga ga sering-sering amat perawatan ke salon. Intinya, saya ke salon cuma kalo mau potong rambut. Nah rambut ini, cukup keramas pake air dingin tiap pagi. Malemnya sebelum tidur dipakein minyak *aduh saya lupa apa nama minyaknya* cem-ceman mungkin kalo ga salah. Pokonya warnanya hijau. Bukan! bukan hijau warna kotoran kuda, tapi hijau tua warna jus brokoli. Kalau ga tau warna jus brokoli, jangan salahin saya.

Aduh!

Jangan bayangin rambut panjang saya ini sehitam, serapi dan sehalus rambut hampir semua model iklan sampo di televisi. Saya ga lagi merendah untuk meninggi loh. Emang bener.

Rambut saya ini,

Warnanya ga hitam. Kata ibu saya, warnanya hitam tapi ga legam. Kata orang sih rambut saya kaya di cat semburat coklat muda. Nah, kalo menurut saya sendiri, rambut ini warnanya mirip rambut yang sengaja sering dibawa panas-panasan siang hari.

Tekstur rambutnya ga jelas. Kadang halus, kadang kasar. Tergantung sampo yang saya pake? ga juga. Nah ini dia yang aneh. Kalo saya keramas malem nih ya, entah kenapa teksturnya halus, padahal saya cuma mau tidur. Eh giliran saya keramas pagi atau siang, teksturnya kasar. Kebayang gimana rambut saya selama di kantor? jangan dibayangin.

Ga pernah rapi. Nah kalo ini memang salah saya sendiri. Kadang karena lupa atau buru-buru pergi, saya ga sisiran, eh seringnya sih karena memang sengaja ga sisiran. Kenapa?. Bukan karena saya males apalagi karena saya ga punya sisir. Tapi karena buat saya, selain menyetrika, menyisir rambut itu adalah pekerjaan yang sedikit sia-sia.

Entah apa kesan yang terlihat dari tulisan saya ini...

Anyway,

Satu-satunya alsan saya manjangin rambut cuma satu. Bukan biar keliatan lebih feminim. Bukan biar bisa dibikin ikal ujungnya. Dan bukan juga biar ada alesan buat buang-buang uang pergi ke salon. Sederhana aja sih alesannya.

Buat nanti bila waktunya tiba rambut saya harus disanggul.

Itu aja.

ps: "mah, teteh ga pake hair-extention kok! hadeuh...ini tumbuh sendiri rambutnya"

*Letter

Detik pertama,

Kubaca baik-baik amplopnya. Alamatnya memang benar alamat rumahku. Rumah orangtuaku, lebih tepatnya. Atas nama yang ditujunya juga memang benar namaku. Lengkap dengan nama tengah dan nama belakangku. Kubalik amplopnya. Kosong. Tidak ada nama dan alamat si pengirim tercantum disana.

Detik kemudian,

Coba bayangkan saja bubuk kopi.

Sudah terbayang seperti apa warnanya?. Bila sudah, seperti itulah warna amplopnya. Isinya hanya selembar kertas berwarna gading dipenuhi tulisan tangan. Tidak bisa dibilang rapi memang, sebuah tulisan tangan yang begitu khas. Aku masih ingat dengan baik siapa pemiliknya.


Hai, 

Aku tau kamu tidak pernah menyukai kata 'maaf'. Tapi mau bagaimana lagi, hanya itu yang kumiliki dan masih bisa kutawarkan padamu. "Maaf", karena memilih untuk datang disaat semuanya sudah terlambat. "Maaf". karena baru mencari lagi apa yang pernah kumiliki disaat semuanya sudah menghilang. Jangan anggap aku menyerah. Karena jika aku menyerah, mungkin tulisan ini tidak akan pernah ada. Anggap saja aku sudah menyadari. Bahwa ada kalanya aku hanya bisa melepasmu pergi.

Maaf.


Kulipat baik-baik kertasnya, kumasukan kembali kedalam amplop. Sambil tersenyum lirih, kuseka air mata yang mengalir perlahan di kedua pipiku.

Tapi aku masih disini, bisikku.