Monday, March 11, 2013

Aku - Kamu

Kuambil ponsel pintarku,

Bukan,

Bukan kuambil hanya untuk seperti biasa meratapi bentuk depan belakangnya yang sudah tidak bagus lagi. Kutatap si beri hitam milik sejuta umat itu. Suatu hari nanti kalau waktunya sudah tepat, akan kusimpan dia rapat-rapat di dalam kotak merah. Iya, kotak merah tempat penyimpanan ponsel-ponsel lamaku.

Tapi tidak hari ini...

Kutekan beberapa angka yang sudah kuhafal di luar kepala. Ada nada sambung. Dering pertama, mungkin ini ide yang buruk. Dering kedua, aku tidak mau ambil pusing, ini memang harus kulakukan.

"Halo",

Seperti biasanya yang sudah-sudah, suaramu terdengar begitu datar tanpa ada tersirat emosi sedikitpun. Kuambil nafas panjang, kukeluarkan perlahan-lahan.

"Hey kamu, lagi apa?"

Aku mencoba setidaknya bisa terdengar sama datarnya, tapi tidak bisa. Aku terlalu senang mendengar suaramu.

"Baru pulang kantor..."

Spontan aku melirik jam dinding yang tergantung tak jauh dariku. Sudah hampir jam sebelas malam, kerjaan macam apa yang menahanmu begitu lama di kantor, sampai-sampai harus begitu larut sekali tiba di rumah. Hey! apa-apaan aku ini.

"Wah...kerjaan yang sekarang sibuk ya. Jaga kesehatan loh, kamu bukan Superman"

Iya. Aku mengucapkannya dengan tanpa sadar dan pikir panjang. Ah, aku percaya kamu tidak akan berpikir yang tidak-tidak. Aku rasa kamu juga tahu aku mengatakannya dengan tulus, tanpa ada maksud tersembunyi lainnya.

Aku rasa sudah cukup basa-basinya,

 "Begini, namamu mau ditulis gimana di undangan?"

Tembakku langsung. Bukan, bukan bermaksud tidak mau menjaga perasaan siapa-siapa. Aku cuma mau pembicaraan lewat ponsel ini cepat selesai, aku dan kamu sama-sama bisa kembali ke dunia nyata. Ke ruang waktu saat ini. Bukan lagi berada di ruang waktu masa lalu.

Seketika hening...

"Ya namaku saja, mau datang sendiri kok"

Jawabmu.

Sekelibat bayangan si cantik berambut panjang berkulit putih terbentuk di benakku. Bayangan seseorang yang aku tau telah menggantikan posisiku disisimu bahkan sejak saat detik-detik terakhir aku masih bersamamu. Mengapa namanya tidak kamu sebut. Itu pikirku.

Hening,

"Aku sebenernya ga peduli kamu datang sama siapa, yang penting kamu datang. Itu aja."

Itu sambungku. Kata-kata yang seutuhnya keluar dari dalam hatiku tanpa kupilah terlebih dahulu kembali sebelum kuucapkan padamu. Aku memang tidak perduli. Dengan siapa kamu akan datang di hari terpentingku nanti. Kamu boleh membawa siapapun itu, toh mereka tidak memberi pengaruh apa-apa di hidupku. Yang kunanti hanya kamu. Itu saja.

"Iya"

Jawabmu pelan. Begitu pelan, hingga hampir tidak terdengar sama sekali.

"Terimakasih sebelumnya ya..."

Kugigit pelan bibir bawahku. Itu satu-satunya cara yang ampuh untuk menahan air mata agar tidak jatuh. Untung saat ini kamu sedang tidak ada di hadapanku.

Pernah tidak,

Berada di satu situasi. Situasi ketika sebisa mungkin kamu meyakinkan hati bahwa semua perasaan itu sudah sepenuhnya hilang dan pergi. Ketika kamu percaya bahwa kamu sudah tidak peduli, bisa biasa-biasa saja tapi ternyata belum. Karena ternyata, bagaimanapun juga rasa itu pernah ada untuk beberapa waktu yang tidak hanya sekejap. Ketika apapun hal yang ada hubungannya dengan dia bisa saja menimbulkan efek walaupun hanya sekelibat.


Inspired by everyone's story, might its yours! who knew...

Aku - Dia

Biru,

Warna yang saat itu berpendar-pendar di salah satu layar ponselku...

Sekelibat sempat berpikir, mengapa aku sampai harus memiliki dua ponsel pintar. Satu si model teranyar yang sedang naik daun dan satunya lagi si beri hitam milik sejuta umat. Padahal satu saja juga sudah lebih dari cukup.

"Hallo..."

Sapaku perlahan mencoba tidak sedikitpun menunjukkan emosi.

"Hei kamu, lagi apa?"

Suaranya tidak berubah, masih sama riang dan berisik seperti biasanya. Apa dia juga sama sepertiku, mencoba untuk sedikitnya tidak menujukkan emosi. Apapun itu selain gelak tawa ringan.

"Baru pulang kantor..."

Iya aku berbohong. Aku sudah berada di rumah sejak empat, uhm! mungkin lima jam yang lalu. Biarlah, mungkin ini bisa setidaknya mendukung salam pembukaku yang sedemikian rupa kubuat seolah datar-datar saja.

"Wah...kerjaan yang sekarang sibuk ya. Jaga kesehatan loh, kamu bukan Superman"

Iya aku tau, dia memang tulus mengucapkannya. Tidak ada yang tidak pernah dia lakukan dan ucapkan dengan tulus. Semua pengorbanan juga bisikan doanya. Lagi-lagi aku berusaha biasa saja.

"Begini, namamu mau ditulis gimana di undangan?"

DEG! tanyanya lagi pelan,

Kalau saja aku punya keberanian tingkat super tinggi hingga berada di batas tidak tahu diri, mungkin aku akan dengan tidak tahu malunya berkata kalau aku mau namaku disandingkan dengan namanya di lembar kedua kartu undangan.

Tapi tidak,

"Ya namaku saja, mau datang sendiri kok"

Hanya kata-kata itu yang akhirnya keluar dari mulutku. Aku sudah tidak lagi peduli bagaimana suaraku terdengar olehnya di sebrang sana.

Hening...

"Aku sebenernya ga peduli kamu datang sama siapa, yang penting kamu datang. Itu aja."

Aku tidak percaya dengan apa yang baru saja kudengar. Sepenting itu kah kehadiranku di hari itu nanti untuknya. Aku bahkan belum tahu akan datang atau tidak. Terbersit untuk menimbang-nimbangnya pun belum ada.

"Iya"

Jawabku pelan. Begitu pelan, hingga hampir tidak terdengar sama sekali.

...

Pernah tidak,

Berada di satu situasi. Situasi ketika sebisa mungkin kamu meyakinkan hati bahwa semua perasaan itu sudah sepenuhnya hilang dan pergi. Ketika kamu percaya bahwa kamu sudah tidak peduli, bisa biasa-biasa saja tapi ternyata belum. Karena ternyata, bagaimanapun juga rasa itu pernah ada untuk beberapa waktu yang tidak hanya sekejap. Ketika apapun hal yang ada hubungannya dengan dia bisa saja menimbulkan efek walaupun hanya sekelibat.


Inspired by everyone's story, might its yours! who knew...

Friday, March 08, 2013

Berbalik

Seperti DEJAVU,

*Mudah-mudahan caraku mengejanya tidak salah...

Aku mengenal keadaan ini.

Meski bukan aku yang memang pernah mengalaminya sendiri, aku sungguh tau keadaan ini. Iya, benar, posisi dimana aku berdiri saat ini.

Oh!

Begini toh, rasanya menjadi dia...

Iya, iya, aku tau. Kalian pasti akan menanyakan sebuah pertanyaan yang begitu tipikal. Tentang suka atau tidak sukanya aku akan hal ini. Suka atau tidak sukamya dan puas atau tidak puasnya aku berada di posisi dia, dulu.

Hmm...

Menjadi yang meninggalkan pergi, dilepas dengan lambaian tangan, meski aku tak yakin kalau dia akan melambaikan tangannya ketika aku tetiba saja pergi tidak menoleh lagi meskipun sekali. Menjadi yang memberikan keputusan, dibalas dengan senyuman hangat, meski aku tau bukan senyuman yang saat itu dia berikan padaku.

Entah lah...

'Suka' hanya bisa digunakan waktu aku berkata, "Aku suka tumis tempe kecap buatan Ibu".

'Tidak suka' hanya bisa digunakan untuk mengatakan, "Aku tidak suka es durian, apapun topingnya".

Bila harus dipakai untuk hati, aku rasa sulit...akan sangat sulit. Bukan sulit untuk diucapkan atau dituliskan. Untuk mengucap, sudah ada mulut. Untuk menulis sudah ada jemari. Ini hanya tentang 'sulit' untuk yang mendengar atau membacanya.

Karena tidak akan ada yang bisa memahami hati...

Aku hanya bisa berharap,

Bila aku saat ini memang sedang bahagia, semoga aku tidak sedang bahagia diatas derita orang lain. Bila saat ini aku memang sedang dipenuhi dengan tawa, semoga tawaku tidak berada diatas tangis orang lain.

Iya,

Itu saja, aku rasa.


Again simply inspired by you...whomever you are out there,


Terbalik

Jadi begini toh rasanya menjadi dia...

Sial!?!

Aku tak suka,

Bagian melihat dia bisa tersenyum tampak begitu bahagia memang terasa menyenangkan. Tapi begitu tau dia tersenyum bukan karena aku, aaah!!! kau tau rasa mual yang ditimbulkan efek kupu-kupu di dalam perut?. Iya, itu yang kurasakan setiap kali menyadari kalau bukan aku yang sedang ada disisinya berbagi tawa dan senyuman.

Bah!

Bagaimana...bagaimana bisa,

Bagaimana dia dulu bisa sebegitu mudahnya melepas kepergianku dengan lambaian tangan. Menerima semua keputusanku dengan senyuman hangat. Melupakan kesalahanku dengan satu saja kedipan mata, kembali menerima keberadaanku di ruang hidupnya meski dalam porsi yang berbeda.

Tidak!

Jangan pernah bilang ini 'karma',

Kalau toh memang iya, harga diriku sebagai laki-laki terlalu tinggi jika harus setidaknya mengakui aku sedang terkena karma.

Keadaan hanya sedang 'terbalik',

Iya,

Itu saja...aku rasa.


Simply inspired by You, whomever have the same story...yea there'd be a lot of 'you' then.