Tuesday, September 04, 2012

*Letter

Detik pertama,

Kubaca baik-baik amplopnya. Alamatnya memang benar alamat rumahku. Rumah orangtuaku, lebih tepatnya. Atas nama yang ditujunya juga memang benar namaku. Lengkap dengan nama tengah dan nama belakangku. Kubalik amplopnya. Kosong. Tidak ada nama dan alamat si pengirim tercantum disana.

Detik kemudian,

Coba bayangkan saja bubuk kopi.

Sudah terbayang seperti apa warnanya?. Bila sudah, seperti itulah warna amplopnya. Isinya hanya selembar kertas berwarna gading dipenuhi tulisan tangan. Tidak bisa dibilang rapi memang, sebuah tulisan tangan yang begitu khas. Aku masih ingat dengan baik siapa pemiliknya.


Hai, 

Aku tau kamu tidak pernah menyukai kata 'maaf'. Tapi mau bagaimana lagi, hanya itu yang kumiliki dan masih bisa kutawarkan padamu. "Maaf", karena memilih untuk datang disaat semuanya sudah terlambat. "Maaf". karena baru mencari lagi apa yang pernah kumiliki disaat semuanya sudah menghilang. Jangan anggap aku menyerah. Karena jika aku menyerah, mungkin tulisan ini tidak akan pernah ada. Anggap saja aku sudah menyadari. Bahwa ada kalanya aku hanya bisa melepasmu pergi.

Maaf.


Kulipat baik-baik kertasnya, kumasukan kembali kedalam amplop. Sambil tersenyum lirih, kuseka air mata yang mengalir perlahan di kedua pipiku.

Tapi aku masih disini, bisikku.

No comments: